Perubahan Indetitas Sosial Budaya yang Terjadi di Papua Akibat dari Konflik
gambar ilusis konflik yang terjadi di papua dari tahun 1961 sampai saat ini
Wilayah Papua memiliki kekayaan sumber daya alam, iklim yang baik, dan
keanekaragaman hayati. Kondisi kekayaan alam Papua ini seolah berbanding terbalik, bila
kita berbicara tentang kondisi sosial di wilayah itu pada beberapa dekade terakhir. Sejak
tahun 1963 ketika Indonesia mengambil alih Papua menjadi bagian dari wilayah negara
Indonesia, banyak sejumlah konflik terjadi yang kemudian berdampak pada kehidupan
sosial dan politik di Papua. Konflik tersebut terkait isu kemerdekaan, diskriminasi, dan
pelanggaran HAM. Masalah sosial lainnya yang ditemukan di Papua yakni kesenjangan
sosial, dimana mencakup ekonomi, pendidikan, kesehatan, wilayah, dan eksploitasi sumber
daya alam (Fanggidae, 2016).
Fenomena sosial yang terjadi di Papua seakan mengubah sudut pandang dan
pemikiran masyarakat terkait kinerja pemerintah untuk menangani masalah di Papua.
Masyarakat mulai mempertanyakan setiap keputusan pemerintah dalam mencari solusi
untuk memecahkan masalah-masalah tersebut, namun justru malah menimbulkan masalah
baru lainnya. Banyak aktivis kemanusiaan di Indonesia mempunyai persepsi terhadap konflik dan masalah sosial di Papua, salah satunya adalah implementasi kebijakan
pemerintah pusat yang diteruskan pemerintah daerah ke masyarakat Papua tidak adil dan
timpang. Hal ini dilihat dari partisipasi setiap pengambilan keputusan oleh pemerintah
pusat dan daerah yang tidak memperhatikan aspirasi masyarakat Papua.
Dalam menganalisis konflik dan masalah sosial di Papua, penelitian ini diperlukan
beberapa buku-buku, artikel dan jurnal ilmiah sebagai referensi utama. Analisis ini dapat
menjelaskan asumsi masyarakat Papua terhadap pemerintah. Masyarakat Papua menilai
bahwa pemerintah hanya mengedepankan kepentingan negara semata bukan rakyat,
dengan dalih tujuan untuk pembangunan dan pengembangan. Penelitian ini dilakukan
dimana ditemukan beberapa kasus konflik di Papua karena eksploitasi dan sistem
kebijakan. Eksploitasi ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu dan disalahgunakan,
sehingga lebih kepada tidak transparansinya arah pengelolaan. Pembangunan dan
pengembangan terus dilakukan oleh pemerintah untuk menggali potensi tersebut, tetapi
masyarakat tidak merasakan dampak tujuan dari pembangunan dan pengembangan itu.
Kemudian sistem kebijakan yang tidak memberikan kesejahteraan bagi masyarakat Papua.
Menurut Webster dalam Pruitt dan Rubin (Tuhuteru, 2022), mengemukakan bahwa
konflik sebagai bentuk perkelahian, peperangan atau perjuangan yang didasari oleh
konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Konteks konflik terjadi ketika tidak terlihat adanya
alternatif yang dapat memuaskan aspirasi kedua belah pihak. Marx menyatakan “...of all
instruments of production is the revolutionary class itself“(Dahrendorf, 1959:9). Marx
menjelaskan bahwa perubahan sosial terjadi karena perjuangan kelas revolusioner. Konsep
ini memang praktis menjelaskan kausalitas tersebut dilihat dari perspektif sosiologi.
Konflik dan masalah sosial di Papua saat ini antara lain, konflik masyarakat dengan
pemerintah, pemerintah dengan kelompok radikalisme, dan masyarakat dengan kelompok
radikalisme.
Pemberlakuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 Tentang
otonomi khusus (otsus) bagi provinsi Papua, tindakan represif maupun persuasif namun
hal ini tidak dapat menyelesaikan konflik dan masalah di Papua (Suropati, 2019). Intensitas
ketegangan antara kelompok radikalisme (kelas revolusioner) dengan pemerintah, semakin
memperburuk keamanan dan keselamatan masyarakat di Papua. Penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis sebab dan dampak dari konflik dan masalah sosial tersebut. Kontribusi
penelitian sebelumnya telah memberikan pengetahuan dan pemikiran kritis dalam
membangun solusi guna mengatasi konflik dan masalah sosial ini. Penelitian tersebut
antara lain adalah kajian pendekatan hukum internasional dari Sugiyanto (2017) dan
Sefriani (2013), kajian pendekatan lembaga internasional sebagai mekanisme penyelesaian
konflik dari Febrianti (2019). Kajian bagaimana aspek historis dapat dimainkan bagi
legitimasi, dan instrumen politik di dalam konflik antara Pemerintah Indonesia dan
nasionalis Papua Barat dari Viartasiwi (2018) dan Safitri (2012) (Febrianti, 2019).
Landasan pemikiran untuk dapat memahami konflik dan masalah sosial di Papua bila
dilihat dari sudut pandang teoritis, sebagai berikut.
Contoh Perubahan Indetitas Sosial Budaya yang Terjadi di Papua Akibat dari Konflik.
contoh perubahan sosial budaya yang terjadi di papua akibat dari konflik membantu memahami bagaimana masyarakat beradaptasi dan berkembang meskipun di tengah tantangan yang berat.
Berikut ini adalah tiga contoh perubahan sosial budaya yang terjadi di papau akibat dari konflik.
Perubahan Identitas Budaya
Salah satu contoh perubahan sosial budaya yang terjadi di Papau akibat dari konflik adalah perubahan identitas budaya di daerah yang
terlibat. konflik di Papua yang berlangsung selama beberapa dekade telah menyebabkan sebagian masyarakat merasa kehilangan identitas budayanya.
Dikutip dari buku Dinamika Budaya Pasca-Konflik, Aisyah, 2020:75, dalam upaya untuk beradaptasi dengan situasi pascakonflik, beberapa tradisi lokal mulai ditinggalkan, sementara budaya baru yang lebih inklusif dan universal mulai diadopsi.
Perubahan Struktur Sosial
Contoh lainnya adalah perubahan dalam struktur sosial masyarakat yang diakibatkan oleh konflik. Di Papua, misalnya, konflik antara kelompok masyarakat dan pemerintah telah menghasilkan pergeseran dalam hierarki sosial.
Masyarakat yang sebelumnya terpinggirkan kini mulai berani bersuara dan berorganisasi untuk menuntut hak-haknya. Konflik telah memberikan ruang bagi masyarakat adat untuk memperjuangkan kedaulatan dan hak-hak mereka.
Perubahan Ekonomi dan Pola Hidup
Perubahan sosial budaya yang ketiga adalah dampak ekonomi dan pola hidup masyarakat. Konflik yang terjadi di Papua menyebabkan banyak warga kehilangan mata pencaharian mereka, sehingga memaksa mereka untuk mencari sumber penghidupan baru.
Faktor yanag terjadi hasil dari pembahasan diatas
1 Sejarah Terbentuknya OPM dan Awal Mula Konflik
Secara historis, Papua yang dulu bernama Irian Barat adalah salah satu wilayah yang
masih dikuasai Belanda setelah era kemerdekaan Indonesia. Belanda ingin menjadikan
Irian Barat menjadi negara yang Merdeka. Namun kendati ingin merdeka, justru Belanda
memilik tujuan menjadikan Irian Barat sebagai negara boneka oleh Belanda. Negara boneka
merupakan kedaulatan suatu negara yang dikendalikan oleh negara lain. Meski Indonesia
mendapatkan kedaulatannya, pihak Belanda dan Indonesia masih terlibat konflik karena
merasa memiliki hak atas wilayah Irian Barat yang disengketakan.
Pada 1 Mei 1963, Irian Barat akhirnya diserahkan oleh Belanda ke pangkuan NKRI
(Susetyo, 2020). Walau begitu Belanda yang masih bertahan di Irian Barat mendirikan
sistem pemerintahan sendiri bagi orang Irian Barat dalam mencapai kemerdekaannya.
Dapat dikatakan bahwa sebenarnya Papua tidak seluruhnya diserahkan ke Indonesia.
Presiden Soekarno yang melihat hal ini kemudian mempersiapkan operasi Trikora untuk
merebut Irian Barat dari kekuasaan Belanda. Permasalahan ini pada akhirnya berlanjut ke
dalam forum PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang menghasilkan perjanjian New York
kala itu. Pihak Belanda bersedia menyerahkan Irian Barat sepenuhnya kepada Indonesia,
namun dengan syarat Indonesia melakukan Perpera (Penentuan Pendapat Rakyat). Pepera
kemudian dilaksanakan pada tahun 1969, dan hasilnya menyatakan masyarakat Irian Barat
memilih untuk menjadi bagian dari Indonesia. Pada proses itu secara resmi disahkan oleh
PBB dan Irian Barat menjadi wilayah NKRI.
Pada perjalanannya, Papua yang dulu bernama Irian Barat berganti menjadi Irian Jaya
pada tahun 2002. Proses integrasi politik di Irian Jaya ini menghadapi suatu tantangan yang
berat. Sejak awal pembangunan yang diselenggarakan oleh pemerintah Provinsi Daerah
Tingkat I Irian Jaya selalu dihadapkan kepada berbagai permasalahan. Salah satu faktor
utama adalah rendahnya tingkat perkembangan kemajuan di Papua dibandingkan wilayah
lainnya di Indonesia. Nama Irian Jaya kemudian berganti menjadi Papua setelah
diberlakukannya Otsus UU Nomor 21 Tahun 2001.
Orde baru pada era Presiden Soeharto, kondisi Papua kurang mendapat perhatian
karena proses pemerintahan yang dijalankan hanya berkutat pada “Jawa Sentris”. "Jawa
sentris" merupakan pandangan yang cenderung mengutamakan kepentingan dan
pembangunan di wilayah Jawa dan sekitarnya. Jawa sebagai kebudayaan dan politik terpusat di Indonesia, sehingga menjadi fokus utama dalam pengambilan keputusan
nasional. Kurangnya perhatian ini memunculkan protes dan ketidakpuasan terhadap sikap
politik pemerintahan, sehingga melahirkan gerakan separatisme. Separatisme ini
merupakan penolakan terhadap situasi politik pada saat itu, karena adanya kesenjangan
sosial ini yang tidak dapat dihindari. Gerakan separatisme sebagai bentuk tindakan
seseorang atau sekelompok orang yang berada dalam satu kesatuan besar ingin
memisahkan diri dengan maksud mendirikan negara atau bangsa merdeka dan
menjalankan pemerintahannya sendiri (Sefriani, 2016). Hal ini kemudian membentuk
ideologi yang bertentangan dengan negara di beberapa kelompok. Salah satunya adalah
Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang dimulai pada tahun 1965.
2.Gerakan Separatisme, Konflik dan Pelanggaran HAM di Papua
Gerakan separatisme OPM ini dimulai tangal 26 Juli di Manokwari yang dipimpin oleh
Permenas Ferry Awom (Mindari, 2022). Ia adalah bekas anggota Batalyon Sukarelawan
Papua (Papua Vrijwilinger Corps) pada kolonialisme Belanda di Papua. Menurut penelitian
sejarah menunjukkan kelompok OPM memiliki dua faksi utama yakni faksi politik dan
militer yang dipimpin Terianus Aronggear, SE dan Aser Demotekay pada rentan tahun 1963
dan 1964 (Pedrason, 2021). Faksi politik OPM mencari dukungan dari negara-negara
tetangga yang bernasib sama, sedangkan faksi iliter bergerak untuk melakukan
pemberontakan (Al Hasyim, 2017). Nama-nama seperti Kelly Kwalik, Tadius Yogi, Mathias
Wenda adalah mantan pimpinan dari faksi ini, sedangkan faksi politik saat ini dipimpin
Benny Wenda (Hari Purwanto, 2021).
Kesimpulan
Konflik dan masalah sosial di Papua adalah masalah yang begitu kompleks. Konflik
yang terjadi dimulai dari sejarah panjang awal berdiri, muncul ideologi baru, hingga
kegagalan politik yang berdampak pada ketimpangan dan ketidakadilan bagi rakyat
Papua. Francis menyatakan bahwa konflik menambahkan unsur persinggungan dan
pergerakan sebagai aspek tindakan sosialnya (Azharghany, 2019). Konflik berarti
pertentangan, pertentangan muncul dalam bentuk ide maupun fisik antara dua belah pihak
yang berseberangan, demikian juga dengan masalah sosial. Dari penjelasan di atas, penulis
telah merangkum simpulan beberapa hal yang menjadi pokok utama pembahasan yaitu 1)
Ketidakpuasan atas otsus dan pengelolaan sumber daya alam di Papua lebih mengarah
kepada kepentingan pemerintah pusat, tetapi tidak memberikan manfaat yang cukup bagi
masyarakat setempat. Masyarakat Papua merasa bahwa otsus yang diberlakukan tidak
memberikan kebebasan kepada mereka untuk mengelola wilayah mereka sendiri. 2)
Diskriminasi dan pelanggaran HAM sering terjadi di Papua dan ini memunculkan suatu
perselisihan. Masyarakat Papua selalu mendapatkan perlakuan diskriminasi oleh
pemerintah. Di samping itu, kekerasan dan konflik seringkali muncul dari tindakan yang
tidak humanis oleh aparat kepada masyarakat. 3) Keterlibatan pihak luar memang
mempengaruhi kehidupan sosial di Papua. Hadirnya pihak tersebut seharusnya membawa
manfaat untuk kehidupan masyarakat Papua, namun tidak. Alhasil tanah dan kekayaan
alam mereka dimanfaatkan untuk kepentingan sekelompok tertentu, dan bukan lagi
kepada masyarakat.
Refernsi:
Adi, Y. P. P. A. (2022). Hubungan Diplomatik Indonesia Dan Vanuatu Terkait Dengan
Pernyataan Vanuatu Mendukung Organisasi Papua Merdeka (OPM). Lex Privatum,
10(5).
Al Hasyim, M. M. (2017). Diplomasi Indonesia dalam Melanesian Spearhead Group (MSG)
terhadap Penjagaan Kedaulatan NKRI di Papua Barat Periode 2013-2016 (bachelor’s
thesis, FISIP UIN Jakarta).
Anugerah, B. (2019). Papua: Mengurai Konflik dan Merumuskan Solusi. Jurnal Lemhannas
RI, 7(4), 51-65.
Komentar
Posting Komentar